
Ayah bukan orang kaya. Ia tidak punya bisnis besar, tidak memiliki jabatan tinggi. Namanya tidak pernah muncul di surat kabar, kisahnya tidak tertulis di buku sejarah. Namun, ada satu hal yang selalu bisa kupegang dari dirinya: ia selalu tuntas dalam setiap janji yang ia buat.
Jika berkata iya, ia tidak pernah mundur. Jika memulai sesuatu, ia tidak akan berhenti di tengah jalan. Jika sudah berjanji, sampai mati pun ia akan berusaha menepatinya.
Janji yang Tidak Sekadar Kata-kata
Saat kecil, aku sangat menginginkan sepeda baru. Teman-temanku bersepeda dengan riang, roda-rodanya berkilau di bawah sinar matahari sore. Aku pun ingin merasakan kebebasan itu, ingin berlari bersama mereka dengan roda yang kencang. Maka, aku memberanikan diri meminta kepada Ayah.Ayah diam sejenak, menatapku dengan mata yang lelah. “Ayah janji,” katanya, tanpa banyak kata-kata. Itu cukup untukku.
Tiga bulan kemudian, ia pulang membawa sepeda. Bukan sepeda baru, bukan yang mahal seperti yang kupikirkan, melainkan sepeda bekas yang ia poles sendiri hingga tampak seperti baru. Aku tahu itu bukan yang terbaik, tetapi aku juga tahu ini bukan tentang harga atau rupa. Ini tentang janji yang ia genggam erat, meskipun di dompetnya hanya tersisa cukup untuk ongkos kerja.
Pelajaran Berharga dari Ayah
Aku tumbuh dengan pemahaman bahwa janji bukan sekadar kata-kata kosong. Janji adalah integritas. Janji adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, meskipun tidak ada yang melihat, meskipun orang lain sudah lupa. Dan Ayah adalah bukti nyata dari itu.Aku melihatnya bekerja tanpa mengeluh, berjalan kaki jauh ketika ongkos transportasi harus ia sisihkan untuk keperluan keluarga. Aku melihatnya menahan lapar agar kami tetap bisa makan dengan cukup. Aku melihatnya mengesampingkan impiannya demi memastikan aku bisa menggapai mimpiku sendiri. Bukan karena ia ingin disebut pahlawan, tetapi karena ia percaya bahwa setiap sesuatu yang sudah dimulai harus dituntaskan.
Dunia yang Penuh Janji Kosong
Ada masanya aku ragu pada dunia. Melihat begitu banyak orang berkata tanpa menepati, melihat begitu banyak janji yang hanya jadi asap yang menguap di udara. Aku hampir saja ikut larut dalam arus itu, berpikir bahwa mungkin memang begitulah hidup berjalan. Namun, aku kembali mengingat Ayah.Aku ingat bagaimana ia membangun rumah kecil kami dengan tangannya sendiri, satu bata demi satu bata, hingga akhirnya kami memiliki tempat berteduh. Aku ingat bagaimana ia berusaha membuatku tetap sekolah, meskipun itu berarti ia harus bekerja lebih lama dari yang seharusnya. Aku ingat bagaimana setiap janji yang pernah ia ucapkan, sekecil apa pun, tidak pernah ia abaikan.
Meneladani Konsistensi Ayah
Hidup tidak selalu mudah. Tetapi jika ada satu hal yang bisa membuat seseorang tetap tegak di tengah badai kehidupan, itu adalah konsistensi pada kata-kata sendiri. Dan itu yang Ayah ajarkan kepadaku. Bukan dengan pidato panjang, bukan dengan teori berbelit, tetapi dengan langkah kaki yang tidak pernah surut, dengan tangan yang tidak pernah ragu menyelesaikan apa yang sudah dimulai.Kini, aku hidup di dunia yang penuh dengan janji kosong. Dunia yang begitu mudah mengucapkan kata-kata tanpa makna. Tetapi aku ingin berbeda. Aku ingin, sekecil apa pun janji yang kubuat, aku bisa meneladani Ayah. Karena aku tahu, mungkin aku tidak akan pernah menjadi orang terkenal, mungkin aku tidak akan pernah memiliki banyak uang atau jabatan tinggi, tetapi satu hal yang ingin kupegang sampai mati: setiap janji harus tuntas.
Terima Kasih, Ayah
Terima kasih, Ayah. Untuk sepeda kecil itu. Untuk janji-janji yang kau tepati. Untuk pelajaran paling berharga yang tak pernah diajarkan di sekolah mana pun.Semoga aku bisa menjadi seperti dirimu, seseorang yang tidak hanya berbicara, tetapi juga menepati. Karena di dunia yang serba cepat ini, kata-kata mudah terbang, tetapi tindakanlah yang membuat seseorang benar-benar dikenang.
Posting Komentar