3rSQgvqDlSdma81h5Brnr4PpoMLU316dREqvmQF2
Bookmark

Ayahku, Gojek-ku

Ayahku, Gojekku

Aku tak pernah benar-benar sadar betapa besar peran ayah dalam hidupku—sampai aku mulai menghitung seberapa sering aku menyebut namanya dalam keseharian.

“Ayah, antar ke sekolah, ya.”
“Ayah, jemput di depan gang, ya.”
“Ayah, mampir bentar ke toko buku, bisa?”
“Ayah, bisa ambil aku sekarang?”

Seperti aplikasi di ponsel, aku hanya perlu menyebut namanya, dan dia selalu ada. Selalu datang, selalu siap. Tak pernah gagal menjemput, tak pernah marah kalau aku tiba-tiba mengubah tujuan, tak pernah mengeluh walau kadang perjalanannya harus memutar jauh.

Sosok yang Selalu Ada

Dulu, aku tak pernah berpikir panjang. Bagiku, kehadiran ayah adalah sesuatu yang pasti. Aku bahkan pernah bercanda, “Ayah, kenapa nggak sekalian daftar jadi ojek beneran? Lumayan, dapat bayaran.”

Ia hanya tertawa. “Karena yang ayah antar itu bukan sekadar penumpang. Yang ayah jemput itu bukan sekadar orang. Yang ayah pastikan sampai rumah dengan selamat itu bukan sekadar pelanggan.”

Saat itu aku tak terlalu memikirkan jawabannya. Aku hanya senang karena aku selalu punya "ojek pribadi" yang tak pernah telat, tak pernah komplain, dan tak pernah meminta bayaran.

Tanda-Tanda Waktu yang Berjalan

Tapi kini, aku mulai melihat hal-hal kecil yang dulu tak kusadari.

Aku mulai sadar bahwa tangannya yang dulu kuat menggenggam setang motor, kini mulai melemah. Aku mulai melihat bahwa punggungnya yang dulu tegap, kini kadang membungkuk. Aku mulai mendengar napasnya yang dulu ringan, kini sedikit lebih berat setelah perjalanan panjang.

Dan tiba-tiba aku takut.

Takut pada hari ketika aku memanggil namanya, tapi ia tak lagi bisa datang. Takut pada hari ketika aku butuh dijemput, tapi ia tak lagi bisa mengantar.

Aku ingat, dulu aku sering kesal kalau ayah telat menjemput. Aku tak pernah berpikir mungkin ia terjebak macet, mungkin ia masih di jalan, mungkin ia juga lelah. Aku ingat, dulu aku sering protes kalau motor ayah kepanasan, kalau hujan turun dan kami harus berteduh dulu, kalau perjalanan terasa lama.

Aku lupa, bahwa selama ini akulah yang selalu diantar. Akulah yang selalu dijemput. Aku lupa, bahwa selama ini akulah penumpang yang tak pernah benar-benar berpikir bagaimana caranya pengemudiku bisa terus ada.

Peran yang Bergeser

Waktu berjalan, dan kini peran itu perlahan bergeser.

Sekarang, aku yang sering menawarkan diri untuk mengantar ayah. Aku yang mulai menghafal jalur-jalur yang biasa ia lalui. Aku yang sekarang lebih sering berkata, “Ayah, santai saja, biar aku yang jemput.”

Tentu, ia masih suka bercanda. Masih bilang, “Bayarnya pakai apa, nih?” dengan tawa khasnya.

Tapi aku tahu, ada haru yang tak terucap di balik candaannya.

Karena aku paham sekarang. Bahwa ayah bukan sekadar pengemudi, bukan sekadar tukang antar. Ia adalah jalanku pulang, sejak dulu hingga nanti.

Membalas dengan Kehadiran

Dan kalau hari ini aku mulai mengantarnya, itu bukan karena aku ingin membalas jasa. Tidak ada jasa yang bisa benar-benar terbalaskan.

Aku hanya ingin memastikan satu hal: kalau suatu hari ayah butuh dijemput, ia tahu bahwa aku selalu siap. Karena di dunia ini, ada beberapa perjalanan yang tidak perlu tarif, tidak perlu aplikasi, tidak perlu bayaran—cukup dengan kasih sayang yang tak pernah ada habisnya.
Posting Komentar

Posting Komentar

Apa kenangan paling berharga kalian bersama Ayah?