3rSQgvqDlSdma81h5Brnr4PpoMLU316dREqvmQF2
Bookmark

Nak, Jangan Terburu-Buru Dewasa

Nak, Jangan Terburu-Buru Dewasa
Kapan terakhir kali kau memakai baju yang dibelikan ayah dan ibu?

Mungkin kau ingat, saat kecil mereka selalu memastikan bajumu pas—tidak terlalu sempit, tidak terlalu longgar. Setiap tahunnya, baju itu diganti, seiring tubuhmu yang bertambah tinggi. Tapi ada satu hal yang tak pernah diganti: cinta mereka.

Dulu, saat usiamu masih lima atau enam tahun, kau akan melompat kegirangan saat ibu membawakanmu baju baru. Kau akan memeluknya erat, menciumi pipinya, lalu segera mencoba pakaian itu di depan cermin. Ibumu tersenyum, memastikan semuanya pas. Ayah mengangguk, mengamatimu dengan bangga. Mereka tidak banyak bicara, tapi lewat tangan yang merapikan kerah bajumu dan langkah kaki yang menuntunmu keluar rumah, ada kasih yang begitu besar.

Menjadi dewasa ternyata bukan hanya soal sepatu yang semakin besar atau kemeja yang makin sesak di bahu. Ada hal lain yang tumbuh bersamamu—rindu yang mereka simpan, doa yang mereka bisikkan, dan harapan yang selalu mereka anyam dalam diam.

Kini, mungkin kau lebih sering membeli baju sendiri. Tanpa perlu menunggu ibu mengukur panjang celana atau ayah membayarkan di kasir. Kau memilih model yang kau suka, warna yang kau inginkan. Dan mungkin, tanpa sadar, ada saat di mana kau lupa bahwa dulu ada sepasang tangan yang selalu memastikan semuanya cocok untukmu.

Jangan Terburu-buru Dewasa, Nak

Dulu, kau berjalan menggandeng tangan ayah. Kini, kau melangkah lebih cepat, kadang lupa menoleh ke belakang. Dulu, ibumu selalu merapikan kerah bajumu sebelum berangkat sekolah. Sekarang, kau lebih sering terburu-buru, lupa bahwa ada tangan yang masih ingin merapikanmu, meski hanya lewat doa.

Suatu hari, kau sadar: rumah ini tetap sama, tapi ada yang berbeda. Lemari pakaianmu masih ada, tapi bajumu yang dulu sudah dilipat rapi di sudut, tak lagi muat untuk dikenakan. Ibumu masih menyetrika dengan telaten, meski baju yang kini ia rapikan bukan lagi milikmu. Ayah masih duduk di kursi yang sama, meski kali ini, tak ada lagi langkah kecilmu yang dulu selalu ia nantikan.

Dulu, mereka yang menyiapkan segalanya untukmu. Kini, kau harus mempersiapkan segalanya sendiri. Dulu, mereka yang memastikan kau tak kedinginan di malam hari, sekarang kau yang harus memastikan mereka nyaman di usianya yang senja.

Waktu berjalan cepat. Tanpa kau sadari, tubuh ayah tak lagi setegap dulu. Punggungnya sedikit membungkuk, rambutnya lebih banyak yang memutih. Ibu lebih sering duduk di kursi, lebih cepat lelah saat membereskan rumah. Mereka bertambah tua, sementara kau semakin sibuk dengan duniamu.

Dulu, mereka selalu bertanya, "Kau sudah makan?" dengan cemas, memastikan kau kenyang sebelum tidur. Sekarang, kau mungkin merasa pertanyaan itu berulang dan melelahkan. Tapi tahukah kau? Itu cara mereka mencintai, meski kini caranya tampak berbeda.

Kami ingin kau tumbuh, tentu. Tapi perlahanlah. Jangan terburu-buru ingin besar, ingin kuat, ingin bisa segalanya sendiri. Karena nanti, di satu titik, kau akan mengerti bahwa menjadi dewasa adalah memahami bahwa ada cinta yang tak pernah mengecil, meski bajumu nanti tak lagi muat.

Karena nanti, kau akan merindukan masa-masa ketika tangan ibumu masih membantumu memasang kancing baju, ketika ayah masih membetulkan dasimu sebelum berangkat sekolah. Kau akan sadar bahwa menjadi dewasa bukan hanya tentang bisa mandiri, tapi juga mengingat siapa yang membantumu sampai di titik ini.

Jika Suatu Hari Kau Pulang...

Kalau pun suatu hari kau harus mengganti semuanya dengan yang lebih pas, biarlah itu karena kau bertumbuh dalam kebahagiaan. Dan biarlah kami tetap di sini, menyiapkan baju barumu—dengan tangan yang masih ingin merapikan kerah bajumu, dan hati yang tak pernah kekecilan untuk menampung segala yang kau bawa pulang.

Mungkin kini kau jarang pulang, atau merasa sudah terlalu dewasa untuk kembali meminta bantuan mereka. Tapi percayalah, bagi mereka, kau tak pernah terlalu tua untuk dirapikan. Pulanglah sesekali. Bukan karena mereka ingin mengatur hidupmu, tapi karena cinta mereka tak pernah kekecilan untuk menampung apa pun yang kau bawa.

Dan ketika kau pulang, biarkan mereka tetap menjadi orang tua yang dulu kau kenal. Biarkan ayah menepuk pundakmu dengan bangga, biarkan ibu tetap bertanya, "Kau sudah makan?" Biarkan mereka mencintaimu dengan cara mereka sendiri—karena meskipun bajumu tak lagi muat, kasih sayang mereka tidak pernah berkurang, tidak pernah kekecilan.
Posting Komentar

Posting Komentar

Apa kenangan paling berharga kalian bersama Ayah?