3rSQgvqDlSdma81h5Brnr4PpoMLU316dREqvmQF2
Bookmark

Salahmu, Suka Warna Putih

Salahmu, Suka Warna Putih

Sekarang kamu tahu kan, gara-gara warna putih kesukaanmu, noda kopi sekecil itu sudah seperti pengumuman besar: ada yang tidak sempurna di sini. Tidak bisa disembunyikan, tidak bisa pura-pura tak ada. Lagi-lagi, karena kamu suka warna putih, lihat juga kerah bajumu—pelan-pelan menguning. Seperti menyimpan lelah yang tak sempat kau istirahatkan. Seperti menampung hari-hari panjang yang tak bisa kau hindari.

Tapi ya sudahlah. Ingat pesan almarhum Ayahmu. Katanya, putih itu supaya kamu selalu waspada. Supaya kamu tidak sembarang duduk, tidak sembarang bersandar. Supaya kamu terbiasa merawat, terbiasa membersihkan. Sebab hidup ini bukan soal menjaga sesuatu tetap putih selamanya, tapi soal bagaimana kau merawatnya dengan sepenuh hati. Dan nanti, kalau putihmu harus ternoda juga, biarlah itu karena kesungguhanmu—karena kau telah berusaha, karena kau telah bergerak, karena kau telah jatuh dan bangkit lagi. Bukan karena kau takut melangkah, takut berbuat, atau takut gagal. Sebab justru di situlah putihmu diuji—bukan pada seberapa lama ia bersih, tapi pada seberapa tekun, seberapa gigih, dan seberapa sabar kamu dalam menjaganya, meskipun tahu pada akhirnya ia akan ternoda juga.

Putih yang Kau Jaga Sejak Kecil

Dulu, setiap kali ibumu membelikan kemeja putih untuk seragam sekolah, Ayah akan duduk di tepi tempat tidur, memperhatikanmu mengenakannya. "Jangan makan sambil berlari, nanti kena saus," katanya, sambil tersenyum tipis. Saat itu, kamu mengira itu hanya peringatan biasa. Tapi semakin bertambah usia, kamu sadar, Ayah sedang mengajarimu sesuatu yang lebih dari sekadar menjaga kerapihan pakaian.

Putih, kata Ayah, adalah tentang tanggung jawab. Setiap kali kamu mengenakannya, kamu harus lebih berhati-hati. Jangan sembarang duduk di bangku kotor. Jangan bersandar pada dinding berdebu. Jangan mengabaikan noda sekecil apa pun. Karena begitulah hidup. Semakin besar tanggung jawabmu, semakin harus kamu rawat dengan baik.

Saat Putihmu Tak Lagi Bersih

Tapi hidup tak selalu bisa dijaga seperti warna putih yang baru dicuci. Seiring berjalannya waktu, kemeja putihmu mulai memudar. Kerahnya menguning, serat kainnya mulai menipis. Kamu pernah berusaha mencucinya berkali-kali, mencoba berbagai cara agar tetap tampak seperti baru. Tapi akhirnya kamu sadar: tidak ada yang bisa putih selamanya. Tak peduli seberapa hati-hati kamu menjaganya, tak peduli seberapa sering kamu mencucinya.

Di situlah Ayah benar. Hidup bukan tentang menjaga putih tetap bersih selamanya, tapi tentang bagaimana kamu merawatnya dengan sepenuh hati. Seperti ketika Ayah menepuk bahumu suatu hari, berkata pelan, "Kamu tidak harus selalu bersih. Kadang, noda itu ada supaya kamu belajar bagaimana menghadapinya."

Putih yang Harus Ternoda untuk Mengerti

Sekarang kamu paham. Hidup ini tak seperti kemeja putih yang bisa selalu dicuci bersih. Ada luka, ada kesalahan, ada kegagalan yang meninggalkan bekas. Tapi justru di situlah nilai putihmu diuji—bukan pada seberapa lama ia bertahan tanpa noda, tapi pada seberapa besar usahamu untuk tetap merawatnya.

Maka, jika suatu hari putihmu ternoda, jangan takut. Jangan merasa gagal. Sebab warna putih sejatinya bukan untuk mereka yang takut kotor, tapi untuk mereka yang berani membersihkan, merawat, dan menerima bahwa dalam hidup, tak ada yang bisa tetap sempurna selamanya.
Posting Komentar

Posting Komentar

Apa kenangan paling berharga kalian bersama Ayah?